Opini: Guru Wali, Fungsi Baru atau Duplikasi Peran?
"Apapun kebijakan pemerintah, guru harus selalu ada bersama murid"
Kehadiran aturan terbaru yang menugaskan adanya “guru wali” di sekolah menimbulkan pertanyaan kritis. Secara konsep, guru wali dimaksudkan untuk mendampingi siswa dalam aspek akademik, karakter, dan sosial-emosional secara lebih personal. Namun, bila dicermati, fungsi tersebut sejatinya sudah dijalankan oleh wali kelas selama ini. Wali kelas bukan hanya mengurus absensi dan administrasi, tetapi juga menjadi motivator, mediator, serta pembimbing perkembangan murid di kelas.
Dengan adanya penugasan guru wali, muncul potensi tumpang tindih peran. Siswa dan orang tua bisa bingung harus berkoordinasi dengan siapa ketika muncul masalah: wali kelas atau guru wali? Sementara di sisi lain, guru mata pelajaran yang diberi tugas tambahan sebagai guru wali juga tetap harus mengajar sesuai jamnya. Jika tidak ada pengurangan beban mengajar atau penyesuaian administrasi, penugasan ini justru berisiko menambah beban kerja guru tanpa memberi manfaat signifikan bagi siswa.
Alih-alih membuat jabatan baru, lebih bijak jika pemerintah memperkuat peran wali kelas yang sudah mapan. Wali kelas bisa diberikan jam khusus untuk konseling, dikurangi beban administratifnya, serta dilengkapi pelatihan pembinaan sosial-emosional murid. Dengan begitu, pendampingan siswa tetap berjalan efektif tanpa harus menambah struktur birokrasi baru.
Pada akhirnya, sekolah membutuhkan penyederhanaan sistem, bukan duplikasi peran. Guru akan lebih fokus, siswa mendapat pembimbing yang jelas, dan orang tua tidak bingung. “Guru wali” sebaiknya menjadi momentum evaluasi, agar peran wali kelas benar-benar diperkuat, bukan digantikan.
Kritik terhadap Tugas Tambahan “Guru Wali”
1. Tumpang tindih fungsi dengan wali kelas
- Wali kelas sejak dulu sudah menjalankan fungsi mendampingi siswa secara akademik, sosial, dan karakter, selain mengurus administrasi.
- Jika guru wali juga mendampingi aspek yang sama, dikhawatirkan terjadi duplikasi tugas tanpa kejelasan batas peran.
2. Beban tambahan tanpa pengurangan tugas utama
- Guru wali tetap guru mata pelajaran, sekaligus mendapat beban tambahan mendampingi siswa.
- Jika tidak ada penyesuaian jam mengajar atau kompensasi yang jelas, guru justru berpotensi terbebani secara administratif.
3. Berpotensi membingungkan siswa dan orang tua
- Siswa dan orang tua sudah mengenal wali kelas sebagai sosok utama penghubung sekolah.
- Kehadiran “guru wali” bisa membuat bingung: siapa yang sebenarnya harus dihubungi saat ada masalah akademik atau sosial?
4. Kurang efektif jika tidak ada koordinasi jelas
- Jika guru wali bekerja sendiri tanpa koordinasi dengan wali kelas, fungsi pembinaan bisa tumpang tindih, bahkan kontraproduktif.
- Anak bisa mendapat pesan atau arahan yang berbeda dari dua figur yang sama-sama mengaku pembimbing.
5. Berisiko menambah birokrasi
- Alih-alih fokus mendampingi siswa, guru wali bisa saja lebih banyak disibukkan dengan laporan formal baru.
- Ini justru bisa mengurangi kualitas interaksi nyata dengan murid.
6. Seakan meremehkan fungsi wali kelas yang sudah ada
- Dengan hadirnya jabatan “guru wali”, muncul kesan seolah-olah wali kelas tidak cukup dalam mendampingi siswa, padahal kenyataannya wali kelas sudah menjalankan fungsi itu sejak lama.
Alternatif Solusi
Daripada menambah jabatan baru, perkuat fungsi wali kelas dengan:
- Memberikan jam khusus untuk konseling/pembinaan personal.
- Mengurangi beban administratif wali kelas agar bisa lebih fokus pada pendampingan siswa.
- Menyediakan pelatihan khusus agar wali kelas lebih siap menjadi mentor akademik, karakter, dan sosial-emosional.

0 Response to "Opini: Guru Wali, Fungsi Baru atau Duplikasi Peran?"
Posting Komentar