Bakti kepada Guru: Menghidupkan Mahabbah, Ta’zim, dan Husnuzhan
Guru adalah sosok yang membuka pintu pengetahuan dan membimbing langkah kita menuju masa depan. Tanpa guru, ilmu yang kita peroleh tidak akan tersusun rapi, akhlak kita tak akan terbimbing, dan jalan hidup kita bisa kehilangan arah. Karenanya, bakti kepada guru bukan sekadar kewajiban sosial, melainkan amanah moral dan nilai luhur yang diwariskan sejak zaman para ulama.
Dalam tradisi Islam, menghormati guru merupakan bagian dari menghormati ilmu. Sebagaimana kita diajarkan untuk memuliakan orang tua yang melahirkan kita secara fisik, guru adalah orang tua ruhani yang melahirkan kita secara intelektual dan spiritual. Bentuk bakti itu dapat kita wujudkan melalui tiga sikap utama: mahabbah (cinta), ta’zim (penghormatan), dan husnuzhan (berbaik sangka).
Mahabbah berarti menumbuhkan rasa cinta yang tulus kepada guru. Cinta ini lahir dari kesadaran bahwa guru telah berkorban waktu, tenaga, bahkan kesabaran untuk membimbing kita. Orang tua dan siswa dapat menunjukkan mahabbah dengan mendoakan guru setiap hari, menjaga hubungan silaturahmi, serta mengingat jasa-jasa mereka walau masa belajar sudah lama usai.
Mahabbah bukan berarti memuji berlebihan, tetapi menghargai guru sebagai manusia yang juga punya kelemahan. Rasa cinta ini akan membuat nasihat guru terasa manis walau terkadang tegas, dan membuat ilmu yang disampaikan lebih mudah meresap ke dalam hati. Seperti kata pepatah Arab, "Man ahabba syai’an aktsara dzikrahu" – siapa yang mencintai sesuatu, ia akan sering menyebutnya.
Ta’zim adalah sikap memuliakan guru dengan adab yang benar. Ini meliputi menghormati ucapan, menjaga sopan santun saat berbicara, serta menahan diri dari memotong pembicaraan. Orang tua dapat mengajarkan ta’zim kepada anak sejak dini, misalnya dengan berdiri saat guru datang, menyapa dengan salam, atau menjaga tutur kata di hadapan guru.
Dalam sejarah para ulama, banyak kisah murid yang sangat ta’zim pada gurunya. Imam Syafi’i, misalnya, tidak pernah membalik halaman buku di hadapan gurunya dengan keras, karena khawatir mengganggu beliau. Sikap-sikap kecil seperti ini menanamkan rasa hormat yang besar, dan menjadi bagian dari keberkahan ilmu.
Husnuzhan kepada guru berarti berbaik sangka terhadap niat dan tindakan mereka. Tidak semua metode mengajar atau sikap guru langsung kita pahami, tetapi dengan husnuzhan kita meyakini bahwa guru ingin yang terbaik bagi muridnya. Orang tua yang menanamkan husnuzhan kepada anak akan membantu menciptakan hubungan harmonis antara murid dan guru.
Sebaliknya, buruk sangka hanya akan menumbuhkan jarak, melemahkan semangat belajar, dan memutus keberkahan ilmu. Bila ada perbedaan pendapat atau masalah, lebih baik diselesaikan dengan dialog santun dan hati yang lapang, bukan dengan prasangka yang menutup pintu kebaikan.
Sebuah kisah berikut bisa menjadi teladan untuk kita, Di sebuah pesantren di Jawa Tengah, ada seorang santri bernama Ahmad. Ia bukanlah murid yang paling cerdas di kelasnya. Nilai ujiannya biasa saja, bahkan kadang di bawah teman-temannya. Namun, ia sangat menjaga adab kepada gurunya. Ia selalu berdiri dan menunduk saat gurunya lewat, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan tidak pernah memotong pembicaraan. Bahkan, ia membalik halaman buku dengan pelan agar tidak mengganggu. Suatu hari, gurunya berkata, “Ahmad, aku doakan semoga Allah bukakan hatimu terhadap ilmu.” Sejak saat itu, Ahmad semakin mudah memahami pelajaran, hingga kelak menjadi ustaz yang disegani. Ketika ditanya rahasianya, ia hanya berkata, “Saya mencintai guru saya, menghormatinya, dan selalu berbaik sangka. Dari situ Allah memudahkan semuanya.”
Mahabbah, ta’zim, dan husnuzhan bukan hanya etika, tetapi juga sarana mendidik hati. Bagi siswa, ketiga sikap ini akan membuat ilmu lebih mudah diterima. Bagi orang tua, ini adalah bekal mendampingi anak agar tumbuh menjadi pribadi beradab. Mari kita hidupkan tiga sikap ini agar hubungan guru dan murid menjadi ikatan hati yang saling mendoakan dan saling menguatkan. Dari sinilah keberkahan ilmu akan mengalir, dan masa depan anak-anak kita akan bercahaya.

0 Response to "Bakti kepada Guru: Menghidupkan Mahabbah, Ta’zim, dan Husnuzhan"
Posting Komentar